A homepage subtitle here And an awesome description here!

Rabu, 30 November 2016

Kenapa Saya Enggan Menyantuni Kaum Duafa (pengemis) ?


Sebagai seorang makhluk hidup yang memiliki hati nurani, menyantuni kaum duafa merupakan hal yang sangat wajar bahkan sangat dianjurkan. Tapi, di jaman sekarang ini apa kita masih perlu menyantuni kaum dhuafa?

Sebelum saya lanjutkan, akan saya luruskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui atau apapun itu yang tidak baik. Tulisan ini hanya saya jadikan sebagai media untuk menyalurkan apa yang ada dipikiran saya.

‘duafa’ sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, orang-orang lemah (ekonominya). Dan kaum duafa disini, saya fokuskan pada pengemis-pengemis / tukang minta-minta yang biasanya beroperasi di pinggir jalan, tempat ibadah, dan tempat umum lainnya, atau bahkan dari satu rumah ke rumah sebelahnya dan seterusnya.

Jujur saja saya tuliskan disini, bahwa saya termasuk orang yang miskin belas kasihan terhadap kaum duafa (selanjutnya saya sebut ‘pengemis’). Miskinnya belas kasihan terhadap pengemis yang saya punya, membuat saya (bisa dibilang) tidak pernah menyantuni mereka. Lalu, kenapa demikian? Jadi, menurut saya, pengemis di jaman sekarang ini memang sudah tidak layak untuk dikasihani. Karna mereka tidak lagi mengemis dengan dasar keterpaksaan atas kelemahan mereka. Mereka telah menjadikan ‘pengemis’ sebagai sebuah ‘profesi’ yang tidak hanya menjamin, tetapi juga menguntungkan kehidupan mereka. Kalau teman-teman bersedia cari informasi, begitu banyak pengemis yang hidupnya berkecukupan bahkan berlebih.  Stok baju mereka bahkan bisa jadi lebih banyak ketimbang stok baju saya (haha).😆

Baiklah, saya tidak ingin terlalu detail dalam membahas jati diri pengemis yang sesungguhnya di tulisan ini karna sudah cukup banyak tulisan yang membahasnya dan saya rasa teman-teman banyak yg sudah mengerti dengan baik. Tapi, saya akan menceritakan beberapa pengalaman saya (baik langsung maupun tidak) dengan pengemis yang cukup berkesan.

Pengalaman pertama terjadi ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hm, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Jadi, suatu hari, ada seorang pengemis yg mengunjungi rumah saya untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengemis. Saat itu, karna memang lagi tidak ada uang kecil, tante saya menyantuni pengemis tadi dengan uang 200 rupiah. Dan apa yang terjadi? Uang tersebut dilemparkan ke arah tante saya! Dengan sombongnya pengemis itu bilang, “UANG DUA RATUS ITU BUAT APA!!”, lalu pergi dengan gerutuannya yg sepertinya cukup lama berlangsung. Wah, kalau untuk saya sih, pada jaman itu uang DUA RATUS sudah bisa dipake BUAT BELI ES LILIN. Senggaknya bisa buat melepas dahaga. Hahahaha.

Berikutnya, terjadi ketika saya sudah SMA. Saat itu saya lagi nunggu jemputan. Jadi duduk-duduk aja di alun-alun yang kebetulan tepat di depan sekolah. Nah, waktu duduk duduk nih, ada ibuk2 paruh baya gitu jalan pelan-pelaaaaannn banget ke arah saya. Minta-minta gitu kan. Karna emang saya gk suka ngasih pengemis dari dulu, jadi saat itu saya juga nggak ngasih. Lagi pula uang saku saya juga sudah habis, namanya juga jam pulang. Lalu apa yang saya dapat? Jeng jeng jeng~~ , saya mendapatkan sumpah serapah! Dengan tegas beliau bersumpah dalam bahasa Jawa, “tak dungakno gak selamet kon nduk! Tak dungakno cepet mati!”, yang intinya, beliau mendoakan saya cepat mati. Dan yaaaa, setelah sekian tahun berlalu ternyata saya masih diberi kesempatan untuk hidup bahkan untuk menulis ini. Hehe. Setelah mengucapkan sumpahnya, beliau pergi dengan jalannya yang tidak lagi pelan-pelan alias normal. Wkwk.

Terakhir, terjadi baru-baru ini. Waktu itu saya baru turun dari bus, tepatnya di pom bensin. Lalu ada nenek-nenek yang (awalnya) minta dibantuin duduk di bawah. Dan ketika saya meraih tangannya, secara sengaja gk sengaja saya lihat isi tas beliau yang kebetulan kebuka, dan saya pun berkata dalam hati, “wah. Uangnya banyak.” Nah, setelah berhasil duduk dengan selamat, beliau curcol ke saya. Katanya, beliau mau naik angkot tp uangnya nggak cukup. Beliau pun minta uang empat ribu untuk naik angkot. Saya cuman bisa, “hmm. Ckptw.” Lalu, karna merasa jadi korban pembodohan, saya pun bilang saya gk punya uang 4 ribu (maksud saya, saya punyanya lebih. HAHA) dan saya pun berlalu meninggalkan beliau yang masih manggil-manggil saya, “loh loh nduk arep nengdi, nduk nduk, nduuuuukkk!!” Merasa sudah selamat dan berjalan cukup jauh dari beliau, saya pun bernafas lega. Kemudian ada ibuk-ibuk yg kebetulan ngeliatin hal tadi dari tempat beliau berdiri saat itu. Beliau tanya pada saya tadi nenek2 itu ngapain, lalu setelah saya jelaskan beliau pun balas menjelaskan. Menurut penuturan beliau, nenek2 itu memang suka ‘mangkal’ disitu. Beliau suka pura-pura susah jalan padahal bisa jalan normal, lalu bilang gk punya uang yg ujung2nya minta uang, pdahal beliau uangnya banyak. Nah lo, brati mata saya gk salah liat dong, itu di dalam tas beliau emang banyak uangnya kok. Wkwk.

Sebenarnya masih cukup lumayan banyak pengalaman-pengalaman yang lain, tp cukup segitu aja pengalamannya. Wkwk. Oke, sekarang saya akan menuju ke pertanyaan kenapa saya bisa begitu mantap dan terus bertahan untuk tidak berbelas-kasihan pada pengemis? Jadi, dulu sekali, saya pernah membaca sebuah artikel yang di dalamnya mengandung kalimat yang sangat membekas di dalam hati saya sampai detik ini dan sampai kapanpun. Kalimat tersebut kurang lebih berbunyi, “Allah memang memberikan manusia hati agar bisa saling mengasihi. Tetapi, Allah juga memberikan manusia otak untuk berpikir.” Ya, kalimat tersebut benar-benar membuat saya  mantap untuk tidak ragu bersikap pelit pada pengemis. Saya benar-benar tidak ada keinginan sedikit pun untuk mengasihi seorang pengemis dengan sedikit pengecualian, yaitu pengemis tersebut memiliki (maaf) cacat yang kasat mata. Kenapa kasat mata? Karna tidak sedikit pengemis yang pura-pura cacat. Ini miris sekali, apalagi kita tau di luar sana masih banyak orang berkebutuhan khusus yang masih berusaha di jalan yang lebih baik dengan cara berjualan Koran, dagang asongan, jasa pijat, atau pekerjaan lain yang masih bisa mereka lakukan. Menyedihkan sekali melihat orang-orang yang dengan mudahnya berpura-pura lemah kemudian memanfaatkan rasa kasihan dari orang lain untuk mencari untung! Saya benar-benar membenci hal tersebut. Fiuh, agak emosi ngetiknya.

Dan ya, sebelum saya akhiri tulisan ini, kembali saya luruskan, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui teman-teman. Saya tidak bermaksud untuk mengajak teman-teman membenci pengemis dan berhenti menyantuni mereka. Lakukanlah apa yang menurut teman-teman itu baik selama tidak ada pihak yang dirugikan. Dan percayalah bahwa Allah tidak akan mengabaikan sekecil apapun niat baik yang teman-teman miliki. Tapi, kalau ada yang bertanya, “kita harus sedekah kemana dong kalau pengemis sudah tidak layak disantuni?” maka saya akan menjawab, silahkan bersedekah di panti asuhan, kotak amal masjid, korban bencana alam, korban perang, pencari rongsokan, pedagang yang sudah tua yang penghasilan perharinya sanga-sangat-sangat minim, atau orang-orang fakir miskin di sekitar daerah teman-teman tinggal (kalau mau nyari sih), atau yang lainnya. Masih cukup banyakkan? Hehe

Sekian dan terimakasih. 

Kritik, saran, dan tanggapan teman-teman akan sangat berpengaruh dalam kelangsungan hidup dan masa depan saya.

Mohon maaf apabila ada kata-kata yg kurang berkenan 🙏
Terimakasihh (lagi)